Kamis, 02 Mei 2013

RUNTUHNYA KERAJAAN HINDU-JAWA DAN TIMBULNYA NEGARA-NEGARA ISLAM DI NUSANTARA

Ringkasan Preambule Prasaran

Tahun 1405 - 1425
Armada Tiongkok dinasti Ming dibawah Laksamana Sam Po Bo menguasai perairan dan pantai-pantai Nan Yang (Asia Tenggara).

Tahun 1407
Armada Tiongkok dinasti Ming merebut Kukang (Palembang), yang sudah turun temurun menjadi sarang perampok orang-orang Tionghoa bukan Islam dari Hok- kian. Cen Cu Yi, kepala perampok di Kukang ditawan, dirantai dibawa ke Peking. Di situ ia mati dipancung di muka umum, sebagai peringatan kepada orang-orang Tionghoa Hokkian di seluruh Nan Yang. Di Kukang dibentuk masyarakat Tionghoa Muslim/Hanafi yang pertama di kepulauan Indonesia. Tahun itu juga didirikan masyarakat Tionghoa muslim/Hanafi, satu lagi di Sambas/Kalimantan.

Tahun 1413
Armada Tiongkok dinasti Ming selama satu bulan singgah di Semarang untuk perbaikan kapal-kapal. Laksamana Haji Sam Po Bo, Ma Huan, dan Fe Tsin sering sekali datang ke masjid Tionghoa/Hanafi di Semarang untuk bersembahyang.

Tahun 1413
Laksamana Haji Sam Po Bo menempatkan Bong Tak Keng di Campa untuk mengepalai masyarakat Tionghoa/ Hanafi yang sedang berkembang dan yang terbesar dipantai-pantai di seluruh Nan Yang. Bong Tak Keng menempatkan Haji Gan Eng Cu di Manila/Filipina.

Tahun 1423

Haji Gan Eng Cu dipindahkan oleh Haji Bong Tak Keng dari Manila ke Tuban/Jawa untuk mengepalai masyarakat Tionghoa muslim/Hanafi yang sedang berkem- bang di Nan Yang Selatan, termasuk Pulau Jawa, Kukang, dan Sambas. Terhadap kerajaan Majapahit yang masih berkuasa, meskipun sudah turun gengsinya, Haji Gan Eng Cu menjadi semacam “Kapten Cina Islam” di Tuban. Tetapi, karena armada Tiongkok dinasti Ming menguasai seluruh perairan Nan Yang, maka Haji Gan Eng Cu de facto melayani keraton Majapahit.
Gan Eng Cu mendapat gelar “A Lu Ya” (Arya Teja) dari raja Majapahit. Yang menghadiahi gelar itu adalah raja Su King Ta (Suhita), raja Majapahit yang memerintah tahun 1427 – 1447.

Tahun 1424 – 1449
Yang Mulia Ma Hong Fu ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit. Ma Hong Fu adalah menantu Bong Tak Keng. Dalam perjalanan ke pusat kerajaan Majapahit. Ma Hong Fu diantar oleh Fe Tsin, yang sudah tiga kali berkunjung ke Keraton Majapahit selaku duta keliling.

Tahun 1425 – 1431
Laksamana Sam Po Bo diangkat menjadi Gubernur di Nan King dan de facto menjadi wali raja Tiongkok Selatan, berikut Nan Yang. Di mesjid Tionghoa/Hanafi di Semarang, diadakan sembahyang hajat disambut dengan doa selamat untuk laksamana Sam Po Bo.

Tahun 1430
Laksamana Sam Po Bo sendiri merebut daerah Tu Ma Pan di Jawa Timur dan menyerahkan daerah itu kepada raja Su King Ta. Gan Eng Wan, saudara Gan Eng Cu, dijadikan gubernur di Tu Ma Pan, bawahan kerajaan Majapahit. Ialah bupati pertama di kerajaan Majapahit yang beragama Islam.

Tahun 1431
Laksamana Sam Po Bo wafat. Masyarakat Tionghoa muslim/Hanafi di Semarang mengadakan sembahyang gaib.

Tahun 1436
Haji Gan Eng Cu pergi ke Tiongkok menghadap kaisar Yang Yu. Tuban membawahkan Kukang, Tse Tsun dan Sambas dilepaskan dari Campa, dan menjadi Chinese Crown Colony yang berdiri langsung di bawah gubernur Nanking, kaisar Yang Yu memberikan kepada Haji Gan Eng Cu tingkatan dan pakaian Mandarin Besar, lengkap dengan tanda pangkat berupa ikat pinggang emas.

Tahun 1443
Swan Liong (Naga Berlian), kepala pabrik mesiu di Semarang, ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu sebagai kapten Cina Islam di Kukang, yang sering diserang oleh bajak-bajak laut Tionghoa yang bukan Islam. Swan Liong, seorang perwira arteleri yang maha jitu, adalah seorang peranakan Tionghoa di Cangki/Majakerta, dilahirkan oleh seorang wanita Tionghoa dayang-dayang. Swan Liong, katanya, sebenarnya adalah putra dari Yang Wi Si Sa / raja Majapahit.

Tahun 1445
Bong Swi Hoo diperbantukan kepada Swan Liong di Kukang untuk dilatih. Bong Swi Hoo adalah seorang cucu Haji Bong Tak Keng di Campa. Tahun itu juga Bong Swi Hoo sudah dipercaya oleh Swan Liong, pergi menghadap Haji Gan Eng Cu supaya ditempatkan di salah satu tempat, menjadi kapten Cina Islam.

Tahun1446
Bong Swi Hoo singgah di masyarakat Tionghoa muslim/Hanafi di Semarang.

Tahun 1447
Bong Swi Ho di Tuban menikah dengan seorang putri Haji Gan Eng Cu.

Tahun 1447 – 1451
Bong Swi Hoo ditempatkan oleh Haji Gan Eng Cu menjadi kapten Cina Islam di Jiaotung/Bangil, yang terletak di muara sungai Brantas Kiri (Kali Porong).

Tahun 1448
Bupati Gan Eng Wan (alias Aria Suganda) mati terbunuh. Daerah Tu Ma Pan lepas dari Majapahit. Orang-orang Tionghoa yang beragama Islam/Hanafi kemudian, selama setengah abad, banyak mati terbunuh oleh orang Tu Ma Pan, yang tetap beragama Hindu / Jawa.

Tahun 1449
Yang Mulia Haji Ma Hong Fu singgah di Semarang dalam perjalanan kembali ke Tiongkok. Istri dari Haji Ma Hong Fu sudah wafat dan dimakamkan secara Islam di Majapahit.

Tahuin 1450 – 1475
Karena Tiongkok / Ming Dynasty sudah merosot, maka armada Tiongkok/Ming Dynasty tidak datang-datang lagi ke masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi di Nan Yang. Masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi itu pun turut merosot. Sangat banyak masjid-masjid Tionghoa/Hanafi yang berubah menjadi klenteng-klenteng Sam Po Kong, lengkap dengan patung Demi God Sam Po Kong di tempat mimbar, seperti Semarang, Ancol, Lasem dan lain-lain.
Setelah wafat laksamana Haji Sam Po Bo, Haji Bong
Tak Keng, dan Haji Gan Eng Cu, maka Bong Swi Hoo terpaksa mengambil inisiatif mengepalai masyarakat Tiong Hoa Islam / Hanafi yang makin lama makin mundur keadaannya di pulau Jawa, Kukang dan Sambas. Tanpa hubungan dengan Tiongkok.
Bong Swi Hoo mengambil inisiatif mengganti bahasa Tionghoa dengan bahasa Jawa, dan memperkuat masyara-kat Tionghoa Islam/Hanafi yang mundur keadaannyaa dengan orang-orang Jawa! Akibatnya menentukan untuk sejarah pulau Jawa.

Tahun 1451
Campa yang beragama Islam/Hanafi direbut oleh orang-orang beragama Budha, penduduk asli dari pedalaman, dari Sing Fun An (Pnom Penh). Bong Swi Hoo segera bertindak. Yakni, Bong Swi Hoo meninggalkan masyarakat Tionghoa beragama Islam di Jiaotung di muara sungai Brantas Kiri (Kali Porong). Dengan hanya sedikit pengikut orang Jawa yang baru saja diislamkannya, Bong Swi Hoo mendirikan masyarakat Jawa beragama Islam di Ngampel, di dekat muara sungai Brantas Kanan (Kali Mas).

Tahun 1451 – 1474
Bong Swi Hoo di Ngampel, dengan pimpinannya yang mahakuat, memimpin pembentukan masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi yang masih ada di Tuban, Kukang, dan Sambas, tetap tunduk kepada Bong Swi Hoo. Di Jiaotung. masjid Tionghoa/Hanafi, sepeninggal Bong Swi Hoo, berubah pula menjadi klenteng Sam Po Kong.

Tahun1445
Kota Jiaotung hilang/lenyap dilanda oleh banjir. Tanpa orang-orang Tionghoa Islam/Hanafi, pelayaran di muara kali porong menjadi sepi.

Tahun 1456 – 1474
Swan Liong di Kukang membesarkan dua orang peranakan Tionghoa dayang-dayang, yakni Jin Bun (= Orang kuat) dan Kin San (= Gunung Mas). Katanya, Jin Bun adalah putra Kung Ta Bu Mi /raja Majapahit.

Tahun 1474
Dalam perjalanan pergi menghadap Bong Swi Hoo, Jin Bun serta Kin San singgah di Semarang, yang sangat teguh imannya di dalam agama Islam, menangis melihat Sam Po Kong di dalam masjid. Jin Bun mendoakan bantuan Ilahi, supaya dia kelak dapat mendirikan masjid yang baru di Semarang, yang sepanjang zaman akan tetap masjid.

Tahun 1475
Atas permintaannya sendiri, Jin Bun ditempatkan oleh Bong Swi Hoo di daerah tidak bertuan di sebelah Timur Semarang. Selain dekat Semarang, tempat itu (secara) geopolitis dan ekonomis memang benar dapat menjadi penting; kelak dapat menguasai pelayaran sepan- jang Pantai Utara pulau Jawa. Daerah kosong itu sangat subur pula, karena merupakan rawa-rawa di kaki gunung Muria. Jin Bun menerima tugas dari Bong Swi Hoo untuk membentuk masyarakat Jawa Islam, pengganti masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi yang sudah murtad di Semarang.
Kin San diperintahkan oleh Bong Swi Hoo menjadi barisan ke lima di keraton Majapahit, dimana sejak Haji Ma Hong Fu, tidak ada lagi sumber berita dalam untuk pihak Tionghoa. Kin San pernah belajar pyroteknik pada Swan Liong. Dengan mercon-mercon bikinan dia sendiri, Kin San lewat Cangki/Majakerta pergi kekeraton Maja- pahit. Kung Ta Bu Mi bergembira ria pasang-pasang mercon. Kin San segera diterima menjadi tukang bikin mercon di keraton Majapahit.

Tahun 1475 – 1518
Selama lebih dari empat puluh tahun, Jin Bun dengan tangan besi memerintah di kerajaan Islam Demak yang baru timbul sebelah Timur Semarang.

Tahun 1447
Jin Bun merebut kota Semarang dengan tentara Islam Demak yang hanya sekuat 1000 orang, tetapi bersemangat perang jihad yang tak gentar mati syahid. Jin Bun mendahului ke klenteng Sam Po Kong, dan menghindarkan segala gangguan atas klenteng itu. Jin Bun yang bijaksana tidak menyembelih orang-orang Tionghoa bekas Islam yang murtad di Semarang. Dia membutuhkan keahlian teknis mereka, terutama di bidang perkapalan. Sebaliknya orang-orang Tionghoa bukan Islam di Semarang berjanji akan menjadi warga negara yang patuh kepada kerajaan Islam di Demak.
Tentara Islam Demak, di bawah komando Jin Bun sendiri membumi hanguskan sebuah kampung Islam yang sejak setengah abad sudah ada di Candi, sebelah selatan Semarang.
Atas permintaan Bong Swi Hoo, raja Kung Ta Bu Mi (raja Majapahit) mengangkat Jin Bun dengan nama Pangeran Jin Bun menjadi bupati daerah Bing Tolo, berkedudukan di Demak. Jin Bun pergi menghadap ke keraton Majapahit, di mana dia benar diakui sebagai putra oleh raja Kung Ta Bu Mi. Walaupun Jin Bun selaku muslimin hanyalah mau menyembah Tuhan Allah swt. Dan selaku bupati bawahan kerajaan Majapahit tidak pun mau menyembah ayahnya, raja Majapahit.

Tahun 1478
Bong Swi Ho wafat di Ngampel. Jin Bun tidak buang waktu pergi ke Ngampel, tetapi dengan tentara Islam Demak pergi merebut pedalaman pulau Jawa. Sedangkan Bong Swi Hoo, seumur hidupnya tidak pernah mengijinkan penggunaan senjata terhadap orang-orang Jawa yang masih beragama Hindu. Kembali dari Majapahit, Jin Bun membawa Kin San ikut serta. Harta/pusaka tanda kebesaran Majapahit sebanyak muatan 7 kuda diangkat ke Demak. Kung Ta Bu Mi ditawan di Demak, dan oleh Jin Bun diperlakukan dengan sangat hormat selaku ayahnya. Majapahit tidak dibumihanguskan, dan karena itu diduduki kembali oleh orang-orang Jawa yang bukan Islam. Atas perintah Jin Bun, di Semarang didirikan mesjid yang baru.

Tahun 1478 – 1529
Kin San, selama setengah abad, menjadi bupati Semarang. Sangat toleran menjadi bapak rakyat, melindungi segala bangsa dan segala agama. Gan Si Cang, seorang putra dari mendiang Haji Gan Eng Cu, ditunjuk oleh Kin San menjadi kapten Cina bukan Islam di Semarang.
Kin San serta Gan Si Cang segera membangun kembali penggergajian kayu jati dan galangan kapal, yang tiga turunan sebelumnya didirikan oleh Haji Sam Po Bo.

Tahun 1479
Seorang putra dan seorang bekas murid dari Bong Swi Hoo datang melihat-lihat di galangan kapal dan di klenteng Sam Po Kong Semarang. Mereka berdua tidak pandai berbahasa Tionghoa.

Tahun 1481
Atas permintaan tukang-tukang di galangan kapal, Gan Si Cang memohon kepada Kin San, supaya masyarakat Tionghoa bukan-Islam di Semarang boleh sukarela turut kerja bakti menyelesaikan masjid Besar Demak. Dikabulkan oleh Jin Bun.

Tahun 1488
Pa Bu Ta La, seorang menantu dari Kung Ta Bu Mi, menjadi bupati Majapahit yang beragama Hindu, tetapi membayar upeti kepada Jin Bun di Demak. Peranan terbalik.

Tahun 1509
Yat Sun, seorang putra dari Jin Bun, mendampingi Kin San di galangan kapal Semarang. Pembuatan kapal diperlipat gandakan, karena Yat Sun katanya hendak merebut Moa Lok Sa (Malaka) dengan armada Demak.

Tahun 1512
Yat Sun sangat tergesa-gesa menyerang Moa Lok Sa, yang sudah direbut oleh orang-orang biadab berambut merah dan yang mempunyai senjata-senjata api jarak jauh.

Tahun 1513
Seorang bangsa Ta Cih, kapalnya rusak dan diperbaiki di galangan kapal Semarang. Ja Tik Su diantar oleh Kin San serta Yat Sun ke Demak, dan dari situ Ja Tik Su tidak kembali lagi. Kapal model Ta Cih milik Ja Tik Su ditiru oleh Kin San untuk memperbesar kecepatan dari kapal-kapal jung Tiongkok, yang besar tetapi lamban sekali.

Tahun 1517
Atas undangan dari Pa Bu Ta La, orang-orang biadab dari Moa Lok Sa datang berdagang dengan orang-orang Majapahit. Jin Bun dengan tentara Demak, kedua kalinya, menyerang ke Majapahit. Hanya karena istri dari Pa Bu Ta La adalah adik bungsu dari Jin Bun sendiri, maka Pa Bu Ta La boleh tetap bupati di Majapahit. Akan tetapi, kota dan keraton Majapahit habis dirampas oleh tentara Demak, tanpa dilarang oleh Jin Bun.

Tahun 1518
Jin Bun wafat dalam usia 63 tahun.

Tahun 1518 – 1521
Yat Sun memerintah selaku raja Islam di Demak.

Tahun 1521
Dengan membawa meriam-meriam besar bikinan Kin San serta kapal-kapal model Ta Cih, Yat Sun sekali lagi menyerang Moa Lok Sa. Yat Sun wafat. Terjadi huru-hara tentang penggantinya di Demak. Pa Bu Ta La Majapahit menyalahgunakan kesempatan, selaku raja Majapahit mengadakan hubungan-hubungan dengan Moa Lok Sa, serta dengan kaisar Tiongkok.

Tahun 1521 – 1546
Tung Ka Lo, saudara Yat Sun, menjadi raja Islam di Demak.

Tahun 1526
Kin San sudah tua; karena dia pandai berbahasa Tionghoa, ikut serta dengan suatu armada Demak pergi ke Barat untuk menundukkan orang-orang Tionghoa di Sembung.

Tahun 1527
Pa Bu Ta La wafat. Panglima Toh A Bo, seorang putra dari Tung Ka Lo, dengan tentara Demak menduduki keraton Majapahit. Putra-putra Pa Bu Ta La tidak sedia masuk Islam, dan melarikan diri ke Pasuruan dan Penarukan.

Tahun 1529
Kin San wafat dalam usia 74 tahun. Jenazahnya diantarkan ke Demak. Ikut serta seluruh penduduk Semarang, Islam dan bukan-Islam.

Tahun 1529 – 1546
Muk Ming, seorang putra dari Tung Ka Lo, menggantikan Kin San.

Tahun1541 – 1546
Dengan bantuan dari masyarakat Tionghoa bukan-Islam di Semarang, Muk Ming menyelesaikan 1000 kapal jung besar, yang masing-masing dapat memuat 400 orang prajurit. Tung Ka Lo hendak merebut pulau-pulau rempah-rempah di Laut Timur. Orang-orang Tionghoa bukan-Islam di Semarang siang malam membanting tulang di galangan kapal

Tahun 1546
Tung Ka Lo dengan armada Demak menyerang ke jurusan Timur. Tung Ka Lo wafat. Muk Ming naik tahta di Demak. Tentara Ji Pang Kang merebut Demak. Ji Pang Kang adalah juga cucu dari Jin Bun. Perang saudara di Demak. Terkecuali masjid, seluruh kota dan keraton Demak musnah.
Tentara Muk Ming terdesak mundur dan bertahan di galangan kapal di Semarang. Tentara Ji Pang Kang yang sangat biadab. Muk Ming wafat. Orang-orang Tionghoa bukan-Islam sangat banyak terbunuh. Ja Tik Su menobatkan putra dari Muk Ming menjadi Sultan Demak dan ikut pula mati terbunuh.
Tentara Ji Pang diserang pula oleh Peng King Kang. Ji Pang Kang wafat. Peng King Kang mendirikan kerajaan Islam di pedalaman. Jauh dari laut dan tidak membutuhkan kapal-kapal.
Habislah riwayat raja-raja Islam turunan Tionghoa/Yunan di Demak, yang sejak Jin Bun memerintah 71 tahun, selama tiga keturunan. Tanpa Kin San, tanpa Yat Sun, tanpa Muk Ming, galangan kapal di Semarang tidak dibangun kembali.


BERITA TIONGHOA DARI KLENTENG TALANG


Resident Poortman dengan bantuan polisi menggele-dah klenteng Talang. Hasilnya sebagai berikut :

Tahun 1415
Laksamana haji Kung Wu Ping, keturunan dari Khonghucu (Konfucius) mendirikan menara mercu suar di atas gunung bukit gunung Jati. Dekat disitu, dibentuk pula masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi di Sembung, Sarindil dan Talang. Masing-masing lengkap dengan masjid. Kampung Sarindil ditugaskan menghasilkan kayu jati untuk perbaikkan kapal-kapal. Kampung Sembung ditugaskan perawatan mercu suar. Kampung Talang ditugaskan perawatan pelabuhan. Bertiga kampung-kampung Tionghoa Islam/Hanafi itu ditugaskan pula menyediakan bahan-bahan makanan untuk kapal-kapal Tiongkok/Ming Dynasty. Di waktu itu, daerah Cirebon masih kosong penduduk tetapi sangat subur karena terletak di kaki gunung Cerme.

Tahun 1450 – 1475
Sama saja seperti di Pantai Utara Jawa Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi sudah sangat merosot , karena putus hubung an dengan tanah Tiongkok. Masjid di Sarindil sudah menjadi tempat pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi di situ sudah tidak ada lagi. Masjid di Talang sudah menjadi klenteng. Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Islam/Hanafi di Sembung sangat berkembang/baik dan sangat beriman teguh dalam agama Islam.

Tahun 1526
Armada serta tentara Islam dari Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta seorang Tionghoa, bernama Kin San. Panglima tentara Demak (= Syarif Hidayat Fatahillah) serta Kin San dari Talang pergi ke Sarindil, dimana Haji Tan Eng Hoat sedang bertapa. Tentara Islam Demak secara damai masuk di Sembung. Atas nama raja Islam di Demak, Panglima tentara Demak memberikan gelar kepada Haji Tan Eng Hoat/Imam Sembung. Bunyinya : “Mu La Na Fu Di La Ha Na Fi.” Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke Barat. Kin San satu bulan mertamu pada Haji Tan Eng Hoat.

Tahun 1552
Panglima tentara Demak, setelah seperempat abad, datang lagi ke Sembung. Sendiri tanpa tentara. Haji Tan Eng Hoat sangat heran. Panglima tentara Demak, katanya :, sudah bekas raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan dikalangan para keturunan Jin Bun di Demak. Dia tidak pula mau tunduk kepada Sultan Pajang, karena di kesultanan Pajang Agama Islam madzhab Syiah, sangat berpengaruh. Bekas Panglima tentara Demak, katanya, seterusnya seumur hidup hendak bertapa di Sarindil.
Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa/Islam di Sembung pun sudah sejak empat keturunan putus hubungan dengan Yunan yang Islam. Sebaliknya orang-orang Tionghoa di Sembung keturunan Hokkian yang bukan Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah keturunan orang Hokkian, orang-orang Hokkian hanya sedikit mau yang masuk Islam.
Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas Panglima Demak supaya membimbing, masyarakat Islam/Tionghoa di Sembung mendirikan suatu kesultanan, seperti Jin Bun dahulu di Demak. Tidak ada jalan lain untuk menjamin bahwa masyarakat Tionghoa di Sembung tetap tinggal Islam! Walaupun bahasa Tionghoa dan madzhab Hanafi terpaksa dilepaskan seperti di Demak. Walaupun sudah tua, Panglima Demak setuju.

Tahun 1552 - 1570
Dengan bantuan dari masyarakat Tionghoa/Islam di Sembung, bekas Panglima Tentara Demak mendirikan kesultanan Cirebon, berpusat di keraton Kesepuhan yang sekarang. Sembung ditinggalkan dan menjadi kuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa dan dengan nama-nama Islam serta nama-nama Indonesia asli, pindah ke kota baru Cirebon. Sultan yang pertama tentulah bekas Panglima Tentara Demak. Dia segera membentuk tentara Islam dari bekas penduduk Sembung. Orang-orang Tionghoa yang bukan Islam terpaksa tunduk kepada tentara Tionghoa Islam Cirebon bentukan baru itu.

Tahun 1553
Supaya ada permaisuri di kesultanan Cirebon yang baru ini, maka Sultan Cirebon yang pertama (yang sudah lanjut usianya) nikah dengan seorang putri dari Haji Tan Eng Hoat, alias Maulana Ifdil Hanfi. Dari Sembung ke Keraton Cirebon, putri Cina itu diberangkatkan dengan upacara kebesaran, seperti perkawinan kaisar-kaisar Tiongkok di jaman Haji Sam Po Bo. Dikawal oleh kemenakannya yang masih muda, Tan Sam Cai. Itulah Tan Sam Cai, orang yang dicari-cari dalam penyelidikan Poortman.

Tahun 1553 – 1564
Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi, dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya, menjadi Vice Roy bawahan Kesultanan Cirebon, de jure berkuasa sampai Samudra India, de facto berkedudukan dekat Kadipaten. Dari situ dia sangat besar jasa-jasanya mengembangkan agama Islam/madzhab Syafi’i di dalam bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut.

Tahun 1564
Haji Tan Eng Hoat wafat dalam ekspedisi tentara merebut kerajaan Galuh yang beragama Hindu. Jenazah dari Haji Tan Eng Hoat di kuburkan di daerah Garut, di atas suatu pulau di dalam suatu danau.

Tahun 1569 – 1585
Tan Sam Cai yang tidak pernah suka memakai namanya, Muhammad Syafi’i dengan gelar Tumenggung Aria Dwipa Wiracula, menjadi menteri keuangan Kesultanan Cirebon. Tan Sam Cai murtad! Dia sangat setia mengunjungi klenteng Talang, membakar hio. Walaupun demikian, Tan Sam Cai sangat besar berjasa memperkuat Kesultanan Cirebon dengan keuangannya sehingga dia tetap dipertahankan. Lagi pula, Tan Sam Cai, seperti Sultan Turki, mendirikan harem, yakni istana Sunyaragi.

Tahun 1570
Sultan Cirebon yang pertama wafat dan digantikan oleh putranya yang dilahirkan oleh putri Cina. Karena Sultan Cirebon yang ke dua masih sangat muda/remaja, maka Tan Sam Cai de facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang berani menentang Tan Sam Cai yang kuat itu hanyalah Haji Kung Sem Pak, alias Muhammad Murdjani, yakni seorang keturunan dari Laksamana Kung Wu Ping yang menjadi pakuncen (= penjaga kuburan Sultan), bertempat tinggal di Sembung.

Tahun 1585
Tan Sam Cai wafat, termakan racun di harem Sunyaragi. Jenazahnya ditolak oleh Haji Kung Sem Pak dari pekuburan pembesar-pembesar Kesultanan Cirebon! Atas permintaan istrinya (Nurlela binti Abdullah Nazir Loa Sek Cong), maka jenazah dari Tan Sam Cai secara Islam dimakamkan di pekarangan rumahnya sendiri.
Walaupun ia dikuburkan secara Islam, atas permintaan penduduk Tionghoa yang bukan-Islam, di Klenteng Talang diadakan pula upacara naik arwah untuk mendiang Tan Sam Cai. Namanya dituliskan dengan tulis kan dengan tulisan Tionghoa di atas kertas merah, supaya disimpan di klenteng Talang untuk selama-lamanya. Tan Sam Cai menjai Demi God dengan nama Tan Sam Cai Kong. Menjadi santri yang mengabulkan doa, jika ia cukup dipuja dengan bakar-bakar hio.

Itulah berita Tionghoa dari Klenteng Semarang dan Klenteng Talang di Cirebon, yang berharga sekali untuk penulisan sejarah mengenai keruntuhan Kerajaan Majapahit dan pembentukan kesultanan Demak dan Cirebon sebagai negara Islam yang mula-mula di Jawa.


--- ooo ---

(Penulisan Buku : “RUNTUHNYA KERAJAAN Hindu - Jawa, DAN TIMBULNYA NEGARA NEGARA Islam di Nusantara” Oleh : Prof. Dr. Slamet Muljana, berdasarkan penelitian dari sumber-sumber : Pararaton; Serat kanda; Negara Kertagama; Tuanku Rao, karangan Ir. M.O. Parlindungan; Babad Tanah Jawi dan Berita dari Klenteng Semarang dan Klenteng Talang Cirebon, Preambule Poortman)


Keterangan nama –nama :

Kung Ta Bu Mi = Kertabhumi
Raja Majapahit yang memerintah tahun 1474 – 1478 Kung Ta Bu Mi mempunyai selir seorang keturunan Tionghoa anak babah Ban Hong dan mempunyai anak bernama Jin Bun = Raden Patah.

Bong Swi Hoo = Raden Rahmat = Sunan Ampel
Bong Swi Hoo adalah putra Makdum Ibrahim/Malik Ibrahim/Maulana Ibrahim dan cucu dari Bong Tak Keng yang menjadi pemimpin masyarakat Tionghoa Islam/ Hanafi, yang berkedudukan di Campa Kamboja. Bong Swi Hoo menikah dengan Ni Gede Manila putri dari Gan Eng Cu/Tumenggung Wilatikta. Mempunyai anak : Raden Bonang, Raden Drajat, Raden Sayid dan Rara Meloka. Ketika di Kudus menikah dengan Nyi Rara Ngunjun dari Puraga memperoleh anak bernama Raden Undung.

Gan Eng Cu = Arya Teja = A Lu Ya
Bong Tak Keng menugaskan Gan Eng Cu sebagai kapten Cina di Manila Filipina, dan menikah dengan gadis setempat, mempunyai anak perempuan bernama Ni Gede Manila dan anak laki-laki bernama Gan Si Cang. Tahun 1423 dipindah tugaskan di Tuban Jawa.

Gan Eng Wan = Wira
Gan Eng Wan adalah saudara Gan Eng Cu, mendapat tugas sebagai pengawas di Tuban. Juga menikah dengan putri Bupati Tuban yang bernama Kyai Ageng Ngersah. Dari perkawinan ini mempunyai dua orang putri. Putri pertama menikah dengan Raden Santri (adik Bong Swi Hoo) dan yang ke dua menikah dengan Raden Burereh/Jenal Kabir putra Raja Campa.

Swan Liong = Arya Damar = Jaka Dilah
Putra Raja Majapahit Yang Wi Si Sa alias Wikrama wardhana (1389 – 1427) kecuali menikah dengan putri Hayam Wuruk yaitu Kusumawardhani juga beristri Putri Cina asal Cangki/Majakerta dan punya anak bernama Swan Liong (Naga Berlian) atau Arya Damar atau Jaka Dilah. Kawin dengan putri cina anak babah Ban Hong bekas selir raja Majapahit, karena permaisuri tidak setuju, dalam keadaan mengandung diberikan pada Swan Liong. Anak dalam kandungan lahir di Palembang, karena Swan Liong sebagai kepala pabrik mesiu di Semarang, tahun 1443 dipindahkan ke Kukang/Palembang.
Anak inilah yang bernama Jin Bun atau Raden Patah, pendiri Kerajaan Islam pertama di Jawa. Sedangkan anak asli Swan Liong dengan putri babah Ban Hong bernama Kin San = Raden Kusen.

Jin Bun = Raden Patah = Panembahan Jin Bun
Prabu Brawijaya menikah dengan tiga orang wanita, yang pertama Ni Endang Sasmitapura, ke dua putri Campa dan yang ketiga adalah putri Cina anak babah Ban Hong. Perkawinannya dengan anak babah Ban Hong tidak disenangi oleh putri Campa, lalu dalam keadaan mengandung diserahkan kepada Swan Liong/Arya Damar untuk diperistri. Bayi yang dikandungnya ini lahir di Palembang dan diberi nama Jin Bun (Orang Kuat).

Kin San = Raden Kusen
Perkawinan antara Swan Liong dengan putri Cina anak babah Ban Hong , mendapatkan seorang anak yang bernama Kin San (Gunung Mas) atau Raden Kusen. Jadi Jin Bun dengan Kin San adalah saudara satu ibu, beda ayah. Pergi ke Jawa bersama-sama, Kin San mengabdi pada kakeknya raja Majaphit sebagai pembuat mercon/mesiu, sedangkan Jin Bun berguru pada Bong Swi Hoo/Sunan Ampel. Kin San bisa berbahasa Tionghoa dengan baik.

Bong Ang = Raden Bonang = Sunan Bonang
Perkawinan Bong Swi Hoo dengan Ni Gede Manila mendapatkan anak Raden Bonang, Raden Drajat, Raden Sayid dan Rara Meloka. Bong Ang dikenal sebagai Sunan Bonang yang bergelar Nyakra Kusuma Adi. Bong Ang diasuh dan dididik oleh Sunan Ampel ayahnya sendiri bersama-sama dengan Raden Giri putra pamannya Sunan Ampel yaitu Maulana Wali Lanang/Maulana Iskak/Sayid Iskak yang kawin dengan putri Cina dari Blambangan.

Raden Giri = Prabu Setmata = Sunan Giri
Giri adalah putra peranakan yang sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa lagi, ayahnya bernama Maulana Wali Lanang atau Maulana Iskak atai Sayid Iskak adalah pamannya Bong Swi Hoo/Sunan Ampel. Maulana Wali Lanang ini menikah dengan putri Cina dari Blambangan, dan mempunyai anak yang bernama Raden Giri. Maulana Wali Lanang datang ke Jawa bersama-sama dengan Maulana Ibrahim/Maulana Mahribi, Maulana Wali Lanang pergi ke Pasai, sedangkan Maulana Ibrahim menetap di Tse Tsun atau Gresik.

Tung Ka Lo = Raden Trenggana
Jin Bun menikah dengan anak perempuan Sunan Giri mendapatkan anak : Yat Sun (Raden Yunus) dan Tung Ka Lo (Raden Trenggana). Setelah Jin Bun wafat, pewaris tahta adalah Yat Sun/Yunus (1518 – 1521). Tetapi baru 3 tahun bertahta gugr di medan perang, dan diganti oleh Tung Ka Lo (Trenggana) 1521 – 1546. Tung Ka Lo kawin dengan anak perempuan Swan Liong dan mendapatkan anak : Muk Ming dan Toh A Bo.

Ja Su Tik = Jafar Sidik = Sunan Undung = Sunan Kudus
Ja Su Tik adalah putra Bong Swi Hoo, hasil perkawinan dengan Raden Ayu Teja putri Bupati Tuban.

Gan Si Cang = Raden Said = Sunan Kali Jaga
Beliau adalah putra Gan Eng Cu, mendapat tugas sebagai Kapten Cina di Semarang dan membantu penggergajian kayu jati untuk galangan kapal.

Toh A Bo = Pangeran Timur = Sunan Gunung Jati
Anak bungsu dari Tung Ka Lo, menjabat sebagai Panglima Tentara Demak. Tahun 1526 menyerang Sunda Kelapa, ikut pula Kin San sebagai juru bahasa ; singgah di pelabuhan Talang dan berkunjung ke Sarindil bertemu dengan Imam Tan Eng Hoat. Berhasil merebut Sunda Kelapa dan Banten. Sunda Kelapa berganti nama menjadi Jayakarta (artinya : Dibuat Berjaya / Kota Kemenangan).
Tahun 1552 kembali ke Cirebon untuk bertapa, karena Demak direbut oleh Jipang. Imam Tan Eng Hoat meminta agar Toh A Bo memimpin masyarakat Tionghoa Islam dan mendirikan Kesultanan Cirebon yang sekarang berpusat di Kesepuhan Cirebon.

Tan Eng Hoat = Imam Sembung = Pangeran Adipati Senjaya.
Kung Wu Ping = Penjaga Mercu Suar di Gunung Jati
Kung Sem Pak = Muhammad Murjani; putra Laksamana Kung Wu Ping
Tan Sam Cay = Muhammad Syafi’i = Tumenggung Arya Dipa Wiracula, menjabat sebagai menteri keuangan Kesultanan Cirebon.


Persoalan Faletehan

Berita dari kronik Tionghoa dari Klenteng Semarang :
“Kin San (Raden Kusen) yang sudah tua, karena ia pandai berbahasa Tionghoa, ikut serta dengan suatu armada Demak yang pergi ke Barat untuk menundukkan orang-orang Tionghoa Islam di Sembung”.

Berita dari kronik Tionghoa Klenteng Talang Cirebon, sebagai berikut :
“Armada serta tentara Islam dari Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta seorang Tionghoa peranakan yang beragama Islam dan pandai berbahasa Tionghoa yang Bernama Kin San. Panglima Tentara Demak (Syarif Hidayat Fatahillah), serta Kin San dari Talang pergi ke Serindil dimana Haji Tan Eng Hoat, Imam Sembung, sedang bertapa. Bersama Tan Eng Hoat, tentara Islam Demak secara damai masuk di Sembung. Atas nama raja Islam Demak memberikan gelar pada Tan Eng Hoat/Imam Sembung. Bunyinya : ‘Mu La Na Fu Di La Ha Na Fi’. Tentara pergi ke kapal dan berlayar ke barat. Kin San satu bulan bertamu pada Haji Tan Eng Hoat”.
Bahwa yang dimaksud dengan panglima Demak itu adalah orang yang kemudian disebut Sunan Gunung Jati, menjadi jelas karena adanya berita dari Kronik Tionghoa dari Klenteng Talang yang bertarikh tahun 1552, bunyinya sebagai berikut : “Panglima tentara Demak, setelah seperempat abad, datang lagi ke Sembung. Sendiri tanpa tentara. Tan Eng Hoat merasa heran. Panglima tentara Demak katanya sudah bekas Raja Islam di Banten. Dia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan dikalangan para keturunan Jin Bun di Demak. Dia tidak pula mau tunduk kepada Sultan Pajang, karena di kesultanan Pajang agama Islam madzhab Syiah sangat ber-pengaruh. Bekas Panglima Demak katanya seterusnya hendak bertapa di Sarindil”.
“Haji Tan Eng Hoat menceritakan bahwa masyarakat Tionghoa di Sembung pun sejak empat keturunan sudah putus hubungan dengan Yunnan yang Islam. Sebaliknya orang-orang Tionghoa yang bukan-Islam sudah sangat kuat di daerah Cirebon. Haji Tan Eng Hoat sendiri adalah orang Tionghoa keturunan Hokkian yang cuma sedikit mau masuk Islam”.
“Haji Tan Eng Hoat meminta kepada bekas panglima tentara Demak supaya membimbing masyarakat Islam/ Tionghoa di Sembung mendirikan suatu kesultanan seperti Jin Bun dahulu di Demak. Tidak ada jalan lain untuk menjamin bahwa masyarakat Tionghoa di Sembung tetap tinggal Islam. Walaupun bahasa Tionghoa dan madzhab Hanafi terpaksa dilepaskan seperti Demak. Walaupun sudah tua , bekas panglima tentara Demak setuju.
Dengan dukungan masyarakat Tionghoa/Islam di Sembung, bekas panglima tentara Demak mendirikan Kesultanan Cirebon berpusat di Kesepuhan yang sekarang, Sembung ditinggalkan dan menjadi pekuburan Islam. Penduduk Sembung boyong sedesa. Dan dengan nama-nama Indonesia asli mereka mereka menetap di tempat baru di Cirebon, sultan yang pertama tentulah bekas panglima tentara Demak sendiri. Dia segera membentuk tentara Tionghoa Islam Cirebon bentukan baru.
Pada tahun 1553, Sultan Cirebon yang pertama (yang usianya sudah lanjut) menikah dengan seorang putri dari Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi. Dari Sembung ke keraton Cirebon, “putri Cina” itu diberangkat kan dengan upacara kebesaran. Seolah-olah dari istana kaisar Tiongkok/Ming dinasti di jaman laksamana Cheng Ho, dikawal oleh saudara sepupunya , Tan Sam Cay.
“Haji Tan Eng Hoat alias Maulana Ifdil Hanafi, dengan gelar Pangeran Adipati Wirasenjaya, menjadi orang kedua dalam Kesultanan Cirebon dari 1553 – 1564, de jure berkuasa sampai Samudera India, de facto berke-dudukan dekat Kadipaten. Dari situ, ia berjasa sangat besar dalam mengembangkan agama Islam madzhab Syafi’i dalam bahasa Sunda di pedalaman Priangan Timur sampai ke Garut”.
Pada tahun 1564, Haji Tan Eng Hoat wafat di dalam ekspedisi militer merebut kerajaan Galuh yang masih beragama Hindu. Jenazah Haji Tan Eng Hoat dikubur di daerah Galuh di atas suatu pulau di dalam suatu danau.
“Tan Sam Cay, yang tidak pernah suka memakai namanya Muhammad Safi’i dengan gelar Tumenggung Arya Dipa Wiracula, menjadi menteri keuangan kesultanan Cirebon 1569 – 1585. Tan Sam Cay dalam agama Islam dianggap telah murtad, karena dia sangat setia mengunjungi klenteng Talang membakar hio. Walaupun demikian, Tan Sam Cay berjasa sangat besar dalam bidang keuangan kesultanan Cirebon.
“Pada tahun 1570, sultan Cirebon yang pertama wafat, digantikan oleh putranya yang lahir dari putri Cina. Karena Sultan Cirebon yang kedua masih muda remaja, maka Tan Sam Cay de facto menguasai Kesultanan Cirebon. Yang berani menentang Tan Sam Cay hanyalah Kung Sem Pak alias Muhammad Murjani, yakni seorang keturunan Laksamana Kung Wu Ping, yang kemudian menjadi juru kunci kuburan sultan di Sembung”,

Berita dari kronik Tionghoa dari klenteng Semarang dan Talang cukup jelas menguraikan siapa sebenarnya Faletehan atau Sunan Gunung Jati. Yang pasti ialah bahwa Faletehan atau Sunan Gunung Jati pada tahun 1526, ketika dikirim oleh Sultan Trenggana ke Cirebon ke Sunda Kelapa, adalah Panglima Perang Tentara Demak. Sama sekali ia bukan seorang ulama. Sayang sekali bahwa berita dari kronik Tionghoa dari klenteng Semarang dan klenteng Talang Cirebon itu tidak menyebutkan nama panglima perang Demak itu, Untuk gampangnya, kita sebut saja Faletehan seperti dalam berita Portugis. Kiranya nama di Demak bukan Faletehan. Jika teori Prof. Husein itu boleh digunakan, nama itu baru digunakan setelah ia mencapai kemenangan di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1526. Itupun nama menurut ucapan Portugis. Namanya ialah “Fatahillah”, artinya ‘bantuan Tuhan’, “orang yang memperoleh kemenangan atas bantuan Tuhan” Seperti telah kita ketahui, Jin Bin, Sultan Demak, juga bernama al-fatah atau secara populer Raden Patah, setelah ia berhasil memperoleh kemenangan terhadap raja Majapahit Kertabhumi, nama yang sesungguhnya ialah Jin Bun. Sebagai pangeran atau panembahan Jin Bun. Jika panglima tentara Demak itu, setelah berhasil memperoleh kemenangan terhadap raja Sunda dan terhadap Fransisco de Sa di pelabuhan Sunda Kelapa, mengambil nama Fatahillah dapat dipahami sepenuhnya. Nama itu sesuai dengan suasananya. Nama Fatahillah ditinjau dari segi linguistik lebih mudah menjadi Faletehan dari pada nama Fathan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Husein berdasarkan bunyi surah al-fath, surah kemenangan.

Sunan Gunung Jati
Dalam Babad Tanah Jawi, diuraikan bahwa putri Trenggana yang nomor empat kawin dengan pangeran Cirebon. Namun, tidak disebutkan siapa yang dimaksud dengan pangeran Cirebon itu. Dapat ditafsirkan bahwa itu adalah Sunan Gunung Jati.
Dalam Serat Kanda terbitan Brandes, diuraikan bahwa Cirebon ikut serta membangun masjid Demak berlangsung sebelum serbuan tentara Demak ke Majapahit. Sumber berita dari klenteng Semarang mengatakan bahwa pada tahun 1526, armada Demak berangkat ke arah Barat untuk menundukkan orang-orang Tionghoa Islam di Sembung. Ikut serta Kin San, yang sudah tua, tetapi pandai berbahasa Tionghoa. Pemberitaan cocok dengan uraian sumber berita dari klenteng Talang di Cirebon.
Bunyinya sebagai berikut :
“Pada tahun 1526, armada dan tentara Islam dari Demak singgah di pelabuhan Talang. Ikut serta seorang Tionghoa peranakan, beragama Islam, dan pandai berbahasa Tionghoa, bernama Kin San. Panglima tentara Demak dan Kin San dari Talang menuju Sarindil, tempat bertapa Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bersama Tan Eng Hoat panglima tentara Demak secara damai masuk Sembung. Atas nama raja Islam Demak, panglima tentara Demak memberikan gelar kepada Tan Eng Hoat, Imam Sembung. Bunyinya gelar itu : Mu La Na Fu Di Li Ha Na Fi. Tentara Demak kembali ke kapal dan berlayar ke Barat. Kin San selama sebulan bertamu pada Tan Eng Hoat.”

Siapa panglima tentara Demak itu, diuraikan oleh sunber berita dari klenteng Talang seperempat abad kemudian, karena panglima tentara Demak itu datang lagi di Talang. Bunyinya sebagai berikut :
“Seperempat abad kemudian, panglima tentara Demak itu datang lagi di Sembung sendirian. Tan Eng Hoat sangat keheran-heranan. Konon panglima tentara Demak itu adalah bekas raja Islam di Banten. Ia sangat kecewa mendengar pembunuhan-pembunuhan di antara para keturunan Jin Bun di Demak Ia segan tunduk kepada Sultan Pajang, karena di kesultanan Pajang agama Islam madzhab Syiah yang dikembangkan. Ia berniat bertapa di Sarindil sampai ajal.”
Tan Eng Hoat memberitahukan bahwa masyarakat Tionghoa Islam di Sembung sudah sejak empat keturunan putus hubungan dengan masyarakat Islam di Yunnan. Sebaliknya, orang-orang Tionghoa keturunan Hokkian yang bukan-Islam sudah sangat kuat. Ia sendiri adalah orang keturunan Hokkian. Hanya sedikit saja orang-orang Hokkian yang bersedia masuk Islam.
Tan Eng Hoat minta kepada bekas Panglima tentara Demak agar suka membimbing masyarakat Tionghoa Islam di Sembung, dengan cara mendirikan kesultanan seperti apa yang dilakukan oleh Jin Bun di Demak. Itulah satu-satunya jalan agar masyarakat Tionghoa Islam di Sembung tetap beragama Islam. Walaupun bahasa Tionghoa dan bermadzhab Hanafi terpaksa dilepaskan seperti di Demak. Bekas Panglima Demak itu setuju, meskipun sudah tua.
Demikianlah pada tahun 1552 itu juga, didirikan kesultanan Cirebon oleh bekas panglima Demak, berpusat di tempat keraton Kesepuhan yang sekarang. Sembung ditinggalkan dan tinggal menjadi pekuburan Islam. Segenap penduduk Sembung diboyong. Mereka menggunakan nama-nama Islam dan nama pribumi. Para penduduk desa Sembung dijadikan tentara inti Islam. Orang-orang Tionghoa yang bukan-Islam tunduk kepada tentara Islam bentukan bekas panglima Demak. Bekas panglima Demak itu sendiri menjadi sultan pertama di Cirebon.
Pada tahun 1553, Sultan Cirebon menikah dengan putri Sembung, anak Tan Eng Hoat. Putri Cina itu dibo-yong dari Sembung ke keraton Cirebon dengan upacara kebesaran, diiringkan oleh saudara sepupunya, bernama Tan Sam Cay. Haji Tan Eng Hoat berganti nama Pangeran Adipati Wirasenjaya. Berkedudukan di Kadipaten, menjadi pembantu utama Sri Sultan.
Sri Sultan wafat pada tahun 1570, digantikan oleh putranya yang lahir dari putri Cina. Karena masih sangat muda, ia diembani oleh Tan Sam Cay, yang sudah berganti nama Muhammad Syafi’i dengan gelar Tumnggung Arya Dwipa Wiracula, namun nama Islam dan Indonesia itu tidak pernah digunakan.
Dari uraian sumber berita dari klenteng Semarang dan Talang itu, menjadi jelas bahwa sultan pertama di Cirebon adalah identik pula dengan Sultan Banten yang pertama. Ia dikenal dengan nama Islamnya Syarif Hidayat Fatahillah dan gelar keulamaannya Sunan Gunung Jati. Yang belum jelas adalah bagaimana hubungan kekeluarga- an antara Sunan Gunung Jati dengan pangeran Trenggana di Demak.
Babad Tanah Jawi dan Fern. Mendez Pinto, meng-atakan bahwa Sunan Gunung Jati (Tagaril) adalah putra menantu Pangeran Trenggana. Prof. Husein Djayaningrat menyebutnya ipar dan guru Trenggana. Perlu diketahui bahwa pada tahun 1913, ketika Prof. Husein menulis diser-tasinya, sumber berita klenteng Semarang dan klenteng Talang belum dikenal sama sekali. Sunan Gunung Jati selalu hanya diidentifikasikan dengan sultan Banten dan sultan Cirebon, sedangkan sumber kedua berita ini penting sekali untuk mengetahui identifikasi Sunan Gunung Jati.
Babad Tanah Jawi (hal.61) memang menyebut bah-wa putri sulung Sultan Bintara, yang bernama Ratu Mas, kawin dengan Pangeran Cirebon. Namun, pada halaman 71 Babad Tanah Jawi juga menyebut bahwa putri ke empat pangeran Trenggana kawin dengan pangeran Cirebon. Kiranya pemberitaan Babad Tanah Jawi agak kacau. Yang pasti ialah bahwa Sunan Gunung Jati pada tahun 1526 menjadi Panglima tentara Demak. Sebagai Panglima perang, ia dikirim oleh pangeran Trenggana untuk menundukkan Sembung dan Sunda Kelapa, yang sejak tanggal 21 Agustus 1522 mengadakan perjanjian dengan pihak Portugis, yang diwakili oleh Enrique Leme untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa. Sembung tunduk pada Demak dan orang Portugis berhasil dihalau dari Sunda Kelapa. Panglima Demak itu kemudian diangkat menjadi Sultan Banten yang pertama.
Kedudukan panglima perang adalah kedudukan yang sangat menentukan dalam kehidupan kenegaraan. Jadi merupakan kedudukan yang sangat penting. Penunjukkan seorang panglima perang untuk menduduki tahta di negara yang ditundukkan, biasanya didasarkan atas adanya hu-bungan kekeluargaan antara panglima perang yang ber-sangkutan dan sang raja. Hanya orang yang masih akrab sekali dalam hubungan kekeluargaan dengan raja yang akan menerima pengangkatan yang demikian.
Orang-orang yang berkuasa di Demak pada umum-nya adalah orang peranakan Tionghoa. Kin San diangkat menjadi bupati yang berkuasa penuh di Semarang. Gan Si Cang dijadikan kapten Cina, yang mengurus orang-orang Cina bukan-Islam dan kepala galangan kapal. Pangeran Trenggana adalah putra Jin Bun yang lahir dari perkawin-annya dengan keturunan Ngampel. Jelas, iapun mempu-nyai darah Tionghoa. Kedudukan panglima perang meru-pakan kedudukan sangat penting, pasti diberikan juga ke-pada peranakkan Tionghoa yang dapat dipercaya oleh sang raja. Yang jelas ialah bahwa panglima perang Demak pada tahun 1527, adalah orang Tionghoa juga, karena namanya Toh A Bo. Ia dikirim ke Majapahit untuk menghukum raja Girindrawardhana, karena mengadakan hubungan dengan Portugis. Panglima Toh A Bo adalah putra Trenggana sendiri. Jarak waktu antara pengiriman tentara Demak ke Sunda Kelapa dan Majapahit hanyalah satu tahun. Kiranya tidak aneh, kalau panglima perang yang dikirim ke Sunda Kelapa itu sama dengan panglima yang dikirim ke Majapahit. Kepercayaan Pangeran Trenggana kepada panglima perang Demak itu sangat besar. Hal ini terbukti lagi dari pemanggilan Tagaril pada tahun 1546 untuk memimpin angkatan darat Demak ke Panarukan. Tagaril taat akan perintah pangeran Trenggana.
Hubungan antara panglima perang tentara Demak Tan Eng Hoat ternyata sangat rapat. Panglima perang diminta untuk memimpin masyarakat Tionghoa Islam di Sembung, dan diminta agar suka mendirikan kesultanan baru di Cirebon seperti halnya dengan Jin Bun di Demak. Pemimpin masyarakat Tionghoa Islam tentunya, juga orang Tionghoa Islam atau, paling sedikit orang Tionghoa peranakan. Akhirnya iapun kawin dengan putri Cina. Hal tersebut di atas mendorong kita pada kesimpulan bahwa Sunan Gunung Jati adalah identik dengan Toh A Bo, panglima perang Demak yang dikirim ke Majapahit pada tahun 1527. Ia adalah putra Pangeran Trenggana sendiri.

---ooo0ooo---

(Penulisan Buku : “RUNTUHNYA KERAJAAN Hindu - Jawa, DAN TIMBULNYA NEGARA - NEGARA Islam di Nusantara” . Oleh : Prof. Dr. Slamet Muljana, berdasarkan penelitian dari sumber-sumber : Pararaton; Serat kanda; Negara Kertagama; Tuanku Rao, karangan Ir. M.O. Parlindungan; Babad Tanah Jawi dan Berita dari Klenteng Semarang dan Klenteng Talang Cirebon, Preambule Poortman)


Oleh : Prof. Dr. Slamet Muljana ; Penerbit : LkiS Yogyakarta.
By : Handy Soesanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar